Mengurusi Jenazah Orang Tua Kafir

Oleh: Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah -Hafizhohulloh-

 

Mungkin ada diantara kita yang diberi hidayah untuk berada di atas Islam. Namun orang tua tetap berada di atas kekafiran, entah karena murtad atau memang sejak lahir ia berasal dari lingkungan dan keluarga kafir dan musyrik.

Terkadang muncul dalam benak kita sebuah pertanyaan, “Apa sikap kita saat orang tua kafir alias musyrik meninggal dunia? Apakah kita mengurusi jenazahnya atau dibiarkan begitu saja?”

Dalam menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita dengarkan hadits berikut, agar kita memahami sikap yang benar dalam menghadapi orang tua yang demikian halnya.

Dari Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu anhu- berkata kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,

اذهب فوار أباك ( الخطاب لعلي بن أبي طالب ) قال ( لا أواريه ) ، ( إنه مات مشركا ) ، ( فقال : اذهب فواره ) ثم لا تحدثن حتى تأتيني ، فذهبت فواريته ، و جئته ( و عليَّ أثرُ الترابِ و الغبارِ ) فأمرني فاغتسلت ، و دعا لي ( بدعوات ما يسرني أن لي بهن ما على الأرض من شيء)

“Sesungguhnya pamanmu, orang tua yang sesat telah mati. Nah, siapakah yang akan menguburkannya?”

Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

“Pergilah kuburkan bapakmu”. Ali berkata, “Aku tak mau menguburkannya, karena dia musyrik!!”

Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Pergilah kuburkan orang tuamu. Kemudian janganlah engkau melakukan sesuatu sampai engkau mendatangiku”.

Aku pun pergi menguburkannya. Lalu aku datang kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, sedang pada diriku masih ada bekas tanah dan debu. Beliau memerintahkan aku mandi, lalu aku pun mandi dan beliau mendoakan kebaikan untukku dengan doa-doa yang tidaklah ada yang membuatku gembira sekiranya aku memiliki sesuatu apapun di atas muka bumi ini sebagai gantinya”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (3214), An-Nasa’iy dalam Sunan-nya (2006), Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot (1/123), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (11155 & 32089), Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf dalam (9936), Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqo (550), Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (120), Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/398) dan Ahmad dalam Al-Musnad (1/97 & 131). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Ash-Shohihah (161)]

Hadits ini mengandung beberapa faedah yang bisa kita petik sebagaimana yang dipaparkan oleh Ulama Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy dalam sebuah kitabnya yang indah Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/303-304):

  1. Disyariatkan bagi seorang muslim untuk mengurusi penguburan kerabatnya yang musyrik. Hal itu tidaklah menyalahi sikap bencinya kepada sang kerabat yang musyrik tersebut. Tidakkah anda melihat bahwa sahabat Ali -radhiyallahu anhu- pada awal kalinya menolak untuk mengurusi jenazah bapaknya dengan alasan bahwa si bapak adalah musyrik, karena menyangka bahwa menguburkan bapaknya dengan kondisi seperti ini (yakni, dalam kondisi musyrik) sungguh akan akan menjerumuskan dirinya kepada sikap loyal (cinta) yang terlarang, seperti yang terdapat dalam firman-Nya -Ta’ala-,

لاَ تَتَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ [الممتحنة : 13]

“Janganlah kalian jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah”. (QS. Al-Mumtanah : 13)

Tatkala Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mengulangi perintahnya kepada Ali untuk menguburkan bapaknya, maka ia pun bersegera merealisasikannya dan ia pun meninggalkan sesuatu yang muncul pada dirinya (berupa pendapat dan pikiran) pada awal kalinya. Demikianlah halnya ketaatan (kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-); seorang siap meninggalkan pendapatnya, karena adanya perintah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.

Tampak bagiku bahwa penguburan seorang anak terhadap mayat bapaknya yang musyrik atau ibunya merupakan sesuatu yang paling terakhir dilakukan seorang anak berupa pergaulan baik terhadap orang tua musyrik di dunia.

Adapun setelah penguburan, maka tidak boleh bagi sang anak untuk mendoakan kebaikan bagi orang tuanya atau memintakan ampunan baginya, karena firman-Nya -Ta’ala-,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى [التوبة : 113]

“Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya)”. (QS. At-Taubah : 113)

Jika demikian halnya, maka bagaimanakah kondisinya orang-orang yang mendoakan rahmat dan ampunan bagi sebagian orang-orang kafir melalui lembaran-lembaran koran dan majalah saat mengumumkan kematian demi beberapa keping dirham[1]. Hendaknya bertaqwa orang-orang yang perhatian dengan urusan akhiratnya.

2. Tidak disyariatkan bagi sang anak memandikan, mengafani dan melakukan sholat jenazah bagi jenazah orang kafir, walaupun bagi kerabatnya. Karena, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidaklah memerintahkan Ali untuk melakukan hal itu. Andaikan hal itu boleh, niscaya akan dijelaskan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, karena berdasarkan kaedah yang tetap bahwa “penangguhan penjelasan dari waktunya tidak boleh”. Inilah madzhab orang-orang Hanabilah dan lainnya.

 

3. Tidak disyariatkan bagi para kerabat musyrik (dari kalangan kaum muslimin) untuk mengantar jenazahnya. Karena, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidaklah melakukan hal itu pada pamannya. Padahal beliau adalah orang yang amat berbakti dan sayang kepadanya sampai beliau berdoa kepada Allah (agar diberi syafaat) sehingga Allah menjadikan siksanya lebih ringan di dalam neraka sebagaimana telah berlalu penjelasannya dalam hadits (no. 53). Di dalam semua perkara ini terdapat pelajaran bagi orang-orang yang tertipu dengan nasab mereka dan tak beramal untuk akhirat mereka di sisi Robb mereka. Alangkah benarnya Allah Yang Maha Agung, saat berfirman,

فَلاَ أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ [المؤمنون : 101]

“Apabila sangkakala ditiup Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya”. (QS. Al-Mukminun : 101)”.

 


[1] Kebiasaan buruk seperti ini amat tersebar di koran-koran lokal. Mereka (yakni, kaum muslimin) mengumumkan kematian orang-orang kafir sambil mendoakan ampunan dan kebaikan bagi orang-orang kafir yang meninggal. Mereka juga mengucapkan belasungkawa untuk mereka dan mengadakan upacara dalam memuliakannya. Di sebagian tempat, para pemimpin muslim datang pada waktu tertentu ke taman makam pahlawan untuk mendoakan kaum kafir yang mereka anggap “pahlawan”. Sungguh semua ini adalah perkara yang amat dimurkai Allah.

Sumber: http://pesantren-alihsan.org/mengurusi-jenazah-orang-tua-kafir.html

Leave a comment